Dengan mengucapkan syukur kehadiran Allah S.W.T, bangsa
Menyadari pengahayatan atas nikmat kemerdekaan yang telah diraih bangsa kita,
maka tidak heran setiap momen perayaan HUT RI 17 Agustus, selalu mendapat
mendapat apresiasi yang luas dari semua lapisan masyarakat di seluruh
Indonesia, bahkan dengan menggelar berbagai acara resmi maupun hiburan, dan
lomba-lomba yang pada intinya berusaha mengantarkan imajinasi kita atas
pentingnya arti sebuah perjuangan.
Diantara sekian banyak acara yang digelar dalam rangka memperingati HUT RI,
salah satunya adalah hiburan rakyat yang dinamakan dengan panjat pinang.
Demikian legendarisnya acara panjat pinang ini, sehingga Benyamin Sueb
(Benyamin S). justru merasa perlu untuk mengabadikannya dalam sebuah lagu
berjudul “Panjat Pinang”. Sampai dengan perayaan HUT-RI yang ke 70, yang
baru saja kita peringati beberapa hari yang lalu, acara panjat pinang tetap
menjadi pilihan yang paling diminati di hampir seluruh Nusantara. Oleh sebab
itu pantaslah rasanya jika acara panjat pinang tersebut dilihat sebagai sebuah
warisan kebiasaan hiburan rakyat dari sebuah waktu di masa lampau.
Dalam konteks sejarah, ada banyak versi yang mengkisahkan tentang
asal-usul acara panjat pinang dalam masyarakat di Indonesia yang telah menjadi
lomba khas 17 Agustus-an. Sebuah perlombaan yang memperebutkan sejumlah hadiah
di ujung sebatang pohon pinang yang dilumuri pelumas, yang tetap masih populer
hingga sekarang. Salah satu diantaranya mengisahkan bahwa panjat pinang telah
dikenal bangsa kita melalui salah satu tradisi dari panjat pinang yang populer
di Fujian,
Di negeri kita diperkirakan permainan panjat pinang berasal dari kebudayaan
Festival Hantu, dari masyarakat keturunan Cina di daerah Bogor, sekitar abad ke
5. Mulanya festival hantu biasa dilakukan hanya di sekitaran kelenteng saja
yang di depan kelenteng biasanya dipasang pohon pinang yang di ujungnya
ditancapkan bendera. Batang pohon pinang dilumuri minyak pelicin. Perbedaannya
adalah para peserta hanya diminta untuk mengambil bendera berwarna merah, bukan
mengambil hadiah dari puncak pohon pinang tersebut.
Dalam sumber yang lain dikisahkan bahwa permainan panjat pinang ini dilanjutkan
(dikembangkan) oleh kolonial Belanda di negeri kita sejak kira-kira tahun
1930-an. Dikatakan, bahwa permainan ini digelar oleh orang-orang Belanda pada
saat mereka sedang melangsungkan acara-acara tertentu seperti acara pernikahan
mereka, ulang tahun, dan lain sebagainya. Peserta panjat pinang hanya akan
diperuntukkan atau dilakukan oleh masyarakat pribumi, sementara mereka para
Londo bertindak sebagai penonton yang siap untuk menertawakan para pribumi yang
saling menginjak menaiki pohon pinang tersebut. Hadiah yang digantungkan di
pucuk pohon pinang biasanya adalah berupa bahan-bahan makanan seperti gula,
keju, atau pakaian, yang merupakan bahan-bahan yang sangat sulit didapatkan
untuk bangsa kita alias barang mewah. Permainan ini digelar sebagai tontonan
atau hiburan para masyarakat Belanda. Kelicinan dan kesulitan untuk mencapai
puncak, jatuhnya peserta yang mencoba mencapai puncak menjadi hiburan tersendiri
bagi mereka.
Terlepas dari sejarahnya yang demikian itu, perlombaan panjat pinang, dalam era
sekarang ini, memang tidak lagi merupakan perlombaan yang hanya mengandalkan
individu yang saling berebut untuk mendapatkan hadiah diujung batang pinang,
namun lebih tampak sebagai team work, yaitu kerja tim yang saling bergantian
dan saling menyongkong dalam satu kelompok agar bisa mencapai dan mendapatkan
hadiahnya. Sehingga dalam batas-batas tertentu permainan ini kemudian menjadi
sebuah permainan yang dipandang wajar, yaitu ketika ada pihak yang menjadi
penonton dan ada pihak yang menjadi pemain dan ketika ke-dua pihak ini tidak
lagi berada dalam posisi "si tuan penjajah" dan "mereka yang
dijajah".[2]
Namun yang terpenting adalah apakah perlombaan panjat pinang
tersebut masih perlu dipertahankan sebagai bentuk perlombaan yang mendidik,
dalam rangka menghayati makna nilai perjuangan atas kemerdekaan bangsa kita.
Jika kembali ke zaman penjajahan, maka fenomena saling injak dan saling sikut
diantara sesama bangsa kita untuk mendapatkan keberuntungan, memang menjadi
tontonan yang biasa bagi mereka. Perilaku semena-mena dan bahagia melihat orang
lain menderita seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
keseharian mereka yang bernama Londo. Para peserta dari pribumi kita saat itu,
tanpa rasa iba menginjak tubuh dan bahkan kepala sesamanya untuk mendapatkan
hadiah. Jika mereka gagal untuk sampai ke puncak dan jatuh, maka para penonton
(Londo) bertepuk tangan dengan riang gembira, seakan-akan penderitaan para
peserta lomba merupakan kebahagiaan bagi para penontonnya.
Asep Kambali, seorang sejarawan dari Komunitas Historia Indonesia telah
berkali-kali meminta agar semua pihak dapat memaklumi tentang seremoni panjat
pinang dalam perayaan HUT RI yang dianggapnya kurang mendidik dan tidak terkait
dengan makna simbolis moment kemerdekaan (www.bbc.com, 11/8/2015), disamping
justru mempertontonkan kebodohan masalalu kita dalam pentas hegomony kolonial
yang menganggap bangsa kita sebagai tontonan pembuktian kelas sosial.
Jikapun tujuannya hanya sekedar untuk
mendapatkan sebuah tontonan rakyat yang murah meriah (seru dan lucu) dalam efent
perayaan 17 Agustusan, bukankan lebih baik menggantinya dengan berbagai
tontonan murah lain yang lebih mendidik, lebih bermakna, dan lebih berkreatif
menuju efent yang lebih besar dan luas, misalnya lomba baca puisi perjuangan,
lomba teaterikal, dan lain-lain. Itulah sebabnya mengapa Darma (seorang
sejawan) juga bertanya, “apasih bangganya menang lomba panjat pinang di
tingkat kelurahan ?”.
Pada akhirnya tentu kita tidak ingin menolak secara drastis perlombaan panjat pinang
dalam moment perayaan 17 Agustusan, karena bagaimanapun lomba panjat pinang
memang cukup menarik perhatian masyarakat. Namun dilain pihak semestinyalah
masyarakat juga lebih diarahkan pada lahirnya daya kreativitas yang lebih
menanamkan nilai-nilai kepahlawanan dan cinta tanah air dalam kegiatan perayaan
17 Agustusan di masa depan. [3]
[1]
Jiang, Rinto. "Korelasi
Perlombaan Panjat Pinang Di Indonesia Dengan Budaya Tionghua". Budaya Tionghoa, dalam http://stti.kpt.co.id/id2/pusat-ensiklopedi-2/lomba-panjat-pinang_42422_stti-kpt.html#Sejarah