Tampilkan postingan dengan label Opini dan Suka-suka. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini dan Suka-suka. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Agustus 2015

Panjat Pinang Sebagai Hiburan 17 Agustusan

Berdebat tentang Hiburan Panjat Pinang

 

            Dengan mengucapkan syukur kehadiran Allah S.W.T, bangsa Indonesia baru saja beberapa hari yang lalu merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT-RI) yang ke-70, yang dalam arti yang lain bangsa kita telah terbebas dari berbagai bentuk penindasan, penjajahan, dan eksploitasi bangsa bangsa lain atas bangsa kita. Semoga kemerdekaan yang telah diraih bangsa kita semakin memberi arti atas kehidupan yang berperi kemanusiaan dan berperi kedadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

            Menyadari pengahayatan atas nikmat kemerdekaan yang telah diraih bangsa kita, maka tidak heran setiap momen perayaan HUT RI  17 Agustus, selalu mendapat mendapat apresiasi yang luas dari semua lapisan masyarakat di seluruh Indonesia, bahkan dengan menggelar berbagai acara resmi maupun hiburan, dan lomba-lomba yang pada intinya berusaha mengantarkan imajinasi kita atas pentingnya arti sebuah perjuangan.

            Diantara sekian banyak acara yang digelar dalam rangka memperingati HUT RI, salah satunya adalah hiburan rakyat yang dinamakan dengan panjat pinang. Demikian legendarisnya acara panjat pinang ini, sehingga Benyamin Sueb (Benyamin S). justru merasa perlu untuk mengabadikannya dalam sebuah lagu berjudul “Panjat Pinang”.  Sampai dengan perayaan HUT-RI yang ke 70, yang baru saja kita peringati beberapa hari yang lalu, acara panjat pinang tetap menjadi pilihan yang paling diminati di hampir seluruh Nusantara. Oleh sebab itu pantaslah rasanya jika acara panjat pinang tersebut dilihat sebagai sebuah warisan kebiasaan hiburan rakyat dari sebuah waktu di masa lampau.

              Dalam konteks sejarah, ada banyak versi yang mengkisahkan tentang asal-usul acara panjat pinang dalam masyarakat di Indonesia yang telah menjadi lomba khas 17 Agustus-an. Sebuah perlombaan yang memperebutkan sejumlah hadiah di ujung sebatang pohon pinang yang dilumuri pelumas, yang tetap masih populer hingga sekarang. Salah satu diantaranya mengisahkan bahwa panjat pinang telah dikenal bangsa kita melalui salah satu tradisi dari panjat pinang yang populer di Fujian, Guangdong dan Taiwan yang berkaitan dengan perayaan festival hantu. Perayaan ini tercatat pertama kali pada masa dinasti Ming yang disebut sebagai "qiang-gu". Namun pada masa dinasti Qing, permainan panjat pinang ini pernah dilarang karena sering timbul korban jiwa. Sewaktu Taiwan berada di bawah pendudukan Jepang, panjat pinang mulai dipraktekkan lagi di beberapa tempat di Taiwan berkaitan dengan perayaan festival hantu. [1]

            Di negeri kita diperkirakan permainan panjat pinang berasal dari kebudayaan Festival Hantu, dari masyarakat keturunan Cina di daerah Bogor, sekitar abad ke 5. Mulanya festival hantu biasa dilakukan hanya di sekitaran kelenteng saja yang di depan kelenteng biasanya dipasang pohon pinang yang di ujungnya ditancapkan bendera. Batang pohon pinang dilumuri minyak pelicin. Perbedaannya adalah para peserta hanya diminta untuk mengambil bendera berwarna merah, bukan mengambil hadiah dari puncak pohon pinang tersebut.

            Dalam sumber yang lain dikisahkan bahwa permainan panjat pinang ini dilanjutkan (dikembangkan) oleh kolonial Belanda di negeri kita sejak kira-kira tahun 1930-an. Dikatakan, bahwa permainan ini digelar oleh orang-orang Belanda pada saat mereka sedang melangsungkan acara-acara tertentu seperti acara pernikahan mereka, ulang tahun, dan lain sebagainya. Peserta panjat pinang hanya akan diperuntukkan atau dilakukan oleh masyarakat pribumi, sementara mereka para Londo bertindak sebagai penonton yang siap untuk menertawakan para pribumi yang saling menginjak menaiki pohon pinang tersebut. Hadiah yang digantungkan di pucuk pohon pinang biasanya adalah berupa bahan-bahan makanan seperti gula, keju, atau pakaian, yang merupakan bahan-bahan yang sangat sulit didapatkan untuk bangsa kita alias barang mewah. Permainan ini digelar sebagai tontonan atau hiburan para masyarakat Belanda. Kelicinan dan kesulitan untuk mencapai puncak, jatuhnya peserta yang mencoba mencapai puncak menjadi hiburan tersendiri bagi mereka.

            Terlepas dari sejarahnya yang demikian itu, perlombaan panjat pinang, dalam era sekarang ini, memang tidak lagi merupakan perlombaan yang hanya mengandalkan individu yang saling berebut untuk mendapatkan hadiah diujung batang pinang, namun lebih tampak sebagai team work, yaitu kerja tim yang saling bergantian dan saling menyongkong dalam satu kelompok agar bisa mencapai dan mendapatkan hadiahnya. Sehingga dalam batas-batas tertentu permainan ini kemudian menjadi sebuah permainan yang dipandang wajar, yaitu ketika ada pihak yang menjadi penonton dan ada pihak yang menjadi pemain dan ketika ke-dua pihak ini tidak lagi berada dalam posisi "si tuan penjajah" dan "mereka yang dijajah".[2] Namun yang terpenting adalah apakah perlombaan panjat pinang tersebut masih perlu dipertahankan sebagai bentuk perlombaan yang mendidik, dalam rangka menghayati makna nilai perjuangan atas kemerdekaan bangsa kita.

            Jika kembali ke zaman penjajahan, maka fenomena saling injak dan saling sikut diantara sesama bangsa kita untuk mendapatkan keberuntungan, memang menjadi tontonan yang biasa bagi mereka. Perilaku semena-mena dan bahagia melihat orang lain menderita seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan keseharian mereka yang bernama Londo. Para peserta dari pribumi kita saat itu, tanpa rasa iba menginjak tubuh dan bahkan kepala sesamanya untuk mendapatkan hadiah. Jika mereka gagal untuk sampai ke puncak dan jatuh, maka para penonton (Londo) bertepuk tangan dengan riang gembira, seakan-akan penderitaan para peserta lomba merupakan kebahagiaan bagi para penontonnya.

            Asep Kambali, seorang sejarawan dari Komunitas Historia Indonesia telah berkali-kali meminta agar semua pihak dapat memaklumi tentang seremoni panjat pinang dalam perayaan HUT RI yang dianggapnya kurang mendidik dan tidak terkait dengan makna simbolis moment kemerdekaan (www.bbc.com, 11/8/2015), disamping justru mempertontonkan kebodohan masalalu kita dalam pentas hegomony kolonial yang menganggap bangsa kita sebagai tontonan pembuktian kelas sosial.

Jikapun tujuannya hanya sekedar untuk mendapatkan sebuah tontonan rakyat yang murah meriah (seru dan lucu) dalam efent perayaan 17 Agustusan, bukankan lebih baik menggantinya dengan berbagai tontonan murah lain yang lebih mendidik, lebih bermakna, dan lebih berkreatif menuju efent yang lebih besar dan luas, misalnya lomba baca puisi perjuangan, lomba teaterikal, dan lain-lain. Itulah sebabnya mengapa Darma (seorang sejawan)  juga bertanya, “apasih bangganya menang lomba panjat pinang di tingkat kelurahan ?”.

            Pada akhirnya tentu kita tidak ingin menolak secara drastis perlombaan panjat pinang dalam moment perayaan 17 Agustusan, karena bagaimanapun lomba panjat pinang memang cukup menarik perhatian masyarakat. Namun dilain pihak semestinyalah masyarakat juga lebih diarahkan pada lahirnya daya kreativitas yang lebih menanamkan nilai-nilai kepahlawanan dan cinta tanah air dalam kegiatan perayaan 17 Agustusan di masa depan. [3]

 

Continue reading

Jumat, 03 April 2015

Ocehan Sang Prabu

"Pasar Malam" Sebuah Reuni Masa Silam

           

           Suasana Pasar malam, Pasar Rakyat, atau Pasar Murah yang secara khusus digelar pada malam hari untuk jangka waktu tertentu melalui pemanfaatan efen-efen tertentu seperti pada foto diatas (23 Juli 2015), sebenarnya telah dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Dalam batas-batas tertentu meskipun terdapat perbedaaan namun secara umum mungkin saja terdapat persamaan, meskipun kita hampir tidak tau apa yang murah di "Pasar Murah" ini. Di Langsa Pasar Malam atau Pasar Rakyat seperti itu mulai sangat dikenali setidaknya sejak kira-kira tahun 1910, ketika pertumbuhan perusahaan-perusahaan milik Pemerintah Kolonial dan Swasta Eropa telah mulai berkembang pesat. Diantara beberapa perusahaan besar tersebut adalah Langsar Petroleum maatschapijj, Langsa Bay, Perkebunan Karet Rubber Cultuur Maatschappij Soengey Raja, Naamlooze Vennotschap Langsar – Landsyndicaat, Langsar Sumatra Rubber Maatschappij, dan lain-lain.
Dalam buku “Berjuta-Juta dari Deli - Satoe Hikajat Koeli Contract” yang ditulis oleh Emil W. Aulia, tahun 2006, dilukiskan bahwa pasar seperti ini memang sengaja digelar pada setiap akhir bulan setelah masa gajian, para kuli dibiarkan terpikat ke dalam suasana pasar dan hiburan seperti ini, agar mereka menghabiskan upah mereka hingga harus meminjam uang kepada mandor perkebunan dengan bunga yang mencekik. Dengan begitu para kuli akan terbelit oleh hutang yang tak terbayarkan, sehingga mau tidak mau mereka harus terus memperpanjang kontrak kerja mereka.
Ini adalah salah satu politik Pemerintah kolonial Belanda dan swasta Eropa untuk tetap mengikat buruh atau para pekerja agar tetap terikat untuk bekerja. Hal ini disebabkan untuk mendatangkan buruh atau para pekerja bukanlah pekerjaan yang mudah dan murah. Harapan kita tentu Pasar Murah, Pasar Malam, atau Pasar Rakyat yang digelar sekarang tidak hanya sebuah media reuni ke masa silam yang "getir".


 

Temen-temen Gue


Komunitas Anak-anak Vespa Jember Jawa Timur
Dalam Rangka Touring adventure to Aceh





Temen-temen Pengemar Motor Jadul (BSA)



Bangunan Terlantar


Setelah lahir malah ditelantarkan, kayak nasib Engeline 
si bocah malang, hehehe ....



Marginalisasi Bakong asoe dan 
Rokok tradisional






Ternyata mereka juga adalah sah pemilik negeri ini
Perayaan Imlek 2015 di Kampung Cina II (pecinan) Langsa, 
Jalan Iskandar Muda





Sebuah fakta tentang multikulturalisme dan pluralisme Langsa
Sikabau jo Sarilamak, Painan jo Taluak Kabuang. 
Dimano bumi dipijak, Disinan langik dijunjuang.


Continue reading

Sabtu, 28 Maret 2015

Heiho dan TKR Medan Area


Sdr. TM. Yogi
Pada dasarnya pasukan (tentara) yang terdiri dari bangsa Indonesia bentukan tentara pendudukan Jepang pada masa Perang Dunia II, dapat dinamakan Heiho (Karena Heiho, artinya adalah tentara pembantu), yang dibentuk berdasarkan instruksi Bagian Angkatan Darat Markas Besar Umum Kekaisaran Jepang tanggal 2 September 1942 dan mulai merekrut anggota sejak 22 April 1943 (tujuannya adalah untuk membantu pekerjaan kasar militer pendudukan Jepang seperti membangun kubu dan parit pertahanan, menjaga tahanan, dll. Namun dalam perkembangannya Heiho ada yang dipersenjatai dan dilatih untuk diterjunkan di medan perang. Pembentukan satuan Militer seperti ini, di Jawa dikenal dengan sebutan Peta, Seinendan, atau juga Hisbullah, sedangkan di Sumatra dikenal dengan sebutan Tokubetsu, Keisatsutai, Heioho, dan juga Gyu Gun (lihat juga HJ.Benda, hal 178 — 183; Anthony Reid, hal. 116 - 119; atau Nugroho Notosusanto, hal 42—186). Menjelang akhir pendudukan Jepang di Indonesia, jumlah pasukan Heiho diperkirakan mencapai 42.000 orang). Heiho kemudian dibubarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 22 Agustus 1945 dan sebagian anggotanya dialihkan menjadi anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Sedangkan peristiwa Medan Area, berawal pada tanggal 9 November 1945, saat pasukan Sekutu dibawah Brigadir Jenderal Ted Kelly mendarat di Sumatra Utara (diikuti oleh pasukan NICA) yang ternyata dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan Republik Indonesia di Sumatra Utara. Insiden pertama terjadi tanggal 13 Oktober 1945 di Jalan Bali, Medan, yang berawal dari ulah seorang Belanda penghuni hotel yang merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang menimbulkan kemarahan para pemuda kita. Insiden itu kemudian menjalar ke beberapa kota lainnya seperti Pematang Siantar dan Brastagi. Sementara itu, pada tanggal 10 Oktober 1945 terbentuk TKR Sumatra Timur yang dipimpin oleh Achmad Tahir, dengan merekrut pemuda bekas Heiho di seluruh Sumatra Timur, sehingga di samping TKR juga terdapat organisasi perjuangan lainnya, yaitu Pemuda Republik Indonesia Sumatra Timur yang kemudian menjadi Pesindo.
Dalam konteks inilah,  sangat dimungkinkan terdapat hubungan data sejarah antara pemuda-pemuda  bekas Heiho rekrutan Achmad Tahir dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Sumatera Utara pada waktu itu, atau yang dikenal dengan sebutan “Pertempuran Medan Area”. 

Continue reading