Peristiwa penjelajahan yang disusul dengan
penjajahan bangsa-bangsa Barat di Afrika, tampaknya telah mulai digagas
oleh Spanyol dan Portugis, pada
kira-kira abad ke 15, sekaligus merupakan dua bangsa Eropa yang dapat dipandang
sebagai dedengkotnya (pionir eksplorasi) kolonialisme Barat di Afrika. Adapun faktor-faktor
pendorong bangsa-bangsa Barat untuk melakukan eksplorasi di Afrika pada awalnya
adalah faktor sumber daya alam dan sumber daya manusia, faktor ekonomi, dan faktor
istimewa adalah ingin memperluas wilayah jajahan (perhatikan pula semboyan 3 G, yaitu Glory, Gold, dan Gospel). Namun
yang terpenting sebenarnya dalam semboyan ini, adalah urusan Glory yang berarti
kejayaan, dan yang telah menyebabkan banyak negara-negara Eropa kemudian saling
berlomba-lomba untuk mencari tanah jajahan di berbagai wilayah lain seperti di
Asia, Amerika, dan tak terkecuali di Benua Afrika. Tak terkecuali adalah sumber daya manusianya,
karena dengan adanya pemanfaatan dari sumber daya manusia ini, jelas sangat membantu
negara-negara barat dalam bidang industri terutama dalam hal produksi. Tenaga
manusia (budak) dari negara jajahan yang sangat murah, tentu dapat menekan
pengeluaran dari proses produksi industri itu sendiri.
Dimulai oleh kedatangan Portugis
dengan merebut Pulau Ceuta (yaitu Tanjung Bojador, Tanjung Verde, Tanjung
Palmas, dan pantai-pantai di Afrika Barat) pada tahun 1415, maka dimulailah
sebuah lembaran baru penaklukkan dan penjajahan bangsa Barat di Afika, yang
sekaligus meresmikan pengaruh Portugis yang semakin besar di Afrika manakala
Bartholomeus Diaz telah sampai di Tanjung harapan pada tahun 1488. Satu hal
yang penting bahwa pendudukan Portugis atas Ceuta pada tahun 1415, awalnya bertujuan untuk
melemahkan kekuasaan Islam di Afrika. Namun kemudian keptusan ini mulai berubah
manakala timbul perhitungan-perhitungan atas Afrika Barat yang ternyata adalah
penghasil barang-barang seperti emas, gading, dan lain-lain yang sejak tahun
1441 dijual di pasar Brugge.
Kemudian pelayaran orang-orang Eropa
dilanjutkan oleh Vasco da Gama yang melewati Tanjung Harapan hingga mencapai India
pada tahun 1498. Diantara wilayah-wilayah koloni Portugis terpenting saat itu
antara lain ialah Angola dan Mozambique, disamping beberapa yang lainnya yang
terletak di sebelah barat, seperti Guinea dan pulau-pulau Cape Verde, Sao Tome
dan Principe. Diantara catatan penaklukkan Portugis yang penting adalah
penaklukan terhadap Angola
pada tahun 1482, menyusul kemudian Mozambique sejak tahun 1505. Jika
diperhatikan lebih dalam, maka luas Angola sendiri adalah 500.000 mil persegi,
sedangkan luas Mozambique mencapai 300.000 mil persegi. Jika keduanya di
gabungkan dan kemudian di tambah dengan Guinea, maka luasnya adalah sama
dengan luas Eropa Barat.
Memperkuat kedudukan
kolonialismenya di Afrika, Portugis kemudian mendirikan benteng-benteng di
sepanjang pantai Afrika, benteng tersebut didirikan terutama untuk kepentingan
melindungi rute perdagangannya, selain adalah untuk membuktikan kekuasaan Portugis atas Afrika. Salah satu benteng
paling terkenalnya adalah yang dibangunnya di Pantai Barat Afrika dan disebut
Benteng Elmina (Elmina
Castle dibangun pada
tahun 1482).
Dapat diketahui bahwa pada waktu
itu tidak hanya Portugis yang mengetahui kekayaan Alam benua Afrika, akan
tetapi rival mereka Spanyol juga mengetahui hal tersebut, namun mereka
(Spanyol) akhirnya terganjal oleh apa yang dinamakan dengan Perjanjian
Tordesillas (6 Juni 1494), yang pada intinya berisi pernyataan dimana “Spanyol
tidak diperkenankan menanamkan pengaruhnya di Afrika.” Perjanjian Tordesillas
ini memang telah ditengahi oleh Paus Alexander VI (kelahiran Spanyol) atas
aduan Christopher Columbus pada tahun 1493, untuk mencegah terjadinya konflik
antara kedua negara Eropa tersebut, paus memiliki kekuasaan atas kedua negara
ini yang juga merupakan penganut agama Katolik yang taat, sehingga kebijakan
Paus dipandang sebagai keputusan yang mutlak (meskipun sebenarnya Spanyol
sangat dirugikan dengan perjanjian ini).
Perjanjian Tordesillas atau “The
Treaty of Tordesillas” atau yang semula disebut juga “Keputusan Kepausan”
(Papal Bull), ini disisi lain juga berarti terbelahnya dunia luar Eropa menjadi
dua, yakni bagian Barat untuk Spanyol dan bagian Timur untuk Potugis. Dengan
kata lain menurut keputusan ini, garis khayal utara-selatan dari demarkasi 100
liga (1 liga = 3 mil) di sebelah barat Kepulauan Cape Verde mulai ditetapkan. Tanah
non-Kristen di sebelah Barat garis ini berada di bawah kepemilikan Spanyol dan
tanah di sebelah Timur dimiliki Portugis.
Salah satu dampak dari
perjanjian tersebut secara otomatis adalah bahwa seluruh Afrika dan hampir
seluruh Asia telah berada di bawah kekuasaan
Portugis, meskipun Spanyol juga kemudian telah merubah pendapatnya dengan
mendapatkan seluruh kekuasaannya di Benua Amerika. Dampak lain adalah bahwa
hampir selama 275 tahun kemudian, pada kenyataannya Portugis telah menjadi
penguasa rute perdagangan di benua Afrika, sampai kira-kira awal abad ke 17
dimana situasi ini selanjutnya mulai berubah, terutama yang disebabkan oleh
kedatangan bangsa-bangsa Eropa lainnya yang juga mulai mengincar Afrika. Dengan
kedatangan bangsa-bangsa eropa yang lain ke benua Afrika, maka tentu disusul
oleh kompetisi dan persaingan diantara sesama bangsa-bangsa Barat di Afrika.
Dalam konteks ini, dapat dilihat bahwa bangsa-bangsa Eropa tersebut kemudian
mulai membuat batas-batas daerah kolonial mereka masing-masing di benua
tersebut, meskipun hal ini akhirnya dapat diselesaikan dengan adanya konferensi
(kongres) Berlin, yang membagi wilyah-wilayah di Benua Afrika kepada
negara-negara di benua Eropa.
Seperti telah disinggung diatas,
bahwa Portugis merupakan salah satu negara printis eksplorasi dan penjajahan di
benua Afrika, dan dengan demikian Portugis dapat dianggap sebagai satu-satunya
negara Eropa yang paling lama dalam soal menjelajah dan membentuk kolonialisme
di Afrika. Koloni-koloni Portugis yang terpenting diantaranya adalah Angola,
Mozambique, dan di sebelah barat ialah Guinea, dan kepulauan-kepulaun kecil
seperti cape Verde, Sao Tome dan Principe. Selama lebih dari lima abad setelahnya Portugis berhasil
menanamkan pengaruh-pengaruhnya di daerah koloninya di Afrika, pada saat
negara-negara Eropa yang lain justru sedang bertimbang untuk memilki wilayah
koloni di Afrika.
Dalam melakukan kolonialisme di
Afrika, Portugis tampak menggunakan system politik kolonial yang didasarkan
pada persamaan ras dengan perbedaan kultur (disebut Politik Paternal), terutama
dibidang pendidikan, dan didalam prakteknya Portugis memang termasuk bangsa
penjajah yang paling meminimalkan politik rasial. Oleh sebab itu perkawinan
antara hitam dan putih dikoloni Portugis tampak merupakan hal yang biasa. Akan
tetapi politik kolonial yang tidak mengenal diskriminasi ras tersebut hanyalah
sutu refleksi saja dari sistem yang berlaku di Portugis. Dibawah pemerintahan
diktator Dr. Salazer, pemerintah bersifat otokratis dengan sentralisasi ketat,
yang tidak memungkinkan adanya pemikiran-pemikiran demokratis untuk tanah
jajahan. Oleh sebab itu walaupun telah di umumkan dengan resmi bahwa
koloni-koloni di jadikan provinsi-provinsi diseberang lautan atau
provinsi-provinsi Afrika, dan mempunyai hak yang sama dengan hak-hak yang
dimiliki oleh provinsi metropolitan, namun karena sifat pemerintahan Salazar
yang otokratis, maka pelaksanaan peraturan tersebut diatas mengalami kegagalan.
Keadaan provinsi diseberang lautan dalam kenyataannya sama dengan koloni-koloni
dimasa sebelumnya bahkan nyaris tidak mengalami perubahan.
Dengan dijalankan politik
paternal, Potugis berharap dapat membentuk golongan elite dikalangan penduduk
pribumi, dan untuk itu pula pemerintah melaksanakan apa yang dinamakan “segreation”
atau pemisahan di bidang sosial. Dasarnya memang bukan warna kulit, tetapi
kultur, namun dalam kenyataanya diidalam masyrakat jajahan, hanya orang-orang
Portugis dan asimilados sajalah yang mempunyai hak sebagai warganegara.
Syarat-syarat untuk diterima sebagai asimilados-asimilados itupun pada akhirnya
adalah sangat menyulikan, dimana penduduk pribumi itu harus terpelajar dan
harus lulus dalam pengujian mengenai kultur Poertegis; disamping harus pula
beragama Katholik Roma dan memilik standar hidup yang lebih tinggi dari pada
penduduk yang masih hidup dalam kesukuan.
Hal ini pada akhirnya akan
membuktikan bahwa penduduk koloni dalam jumlah besar tentu tidak juga mempunyai
hak kewarganegaraan, mereka dipaksa dengan kasar dan keras untuk bekerja kepada
pemerintah dan kolonis-kolonis kulit putih. Kerja paksa untuk pemerintah
misalnya pembuatan jalan-jalan, jembatan-jembatan dan bagunan-bagunan bahkan
pengusaha-pengusaha perkebunan. Bahkan pemerintah mengeluarkan pula peraturan
yang dimana setiap orang harus memilik surat
keterangan yang menyatakan bahwa ia petani perseorangan; mereka yang tidak
mempunyai surat
tersebut harus mencari pekerjaan.
(dari berbagai sumber)
0 comments:
Posting Komentar