Jumat, 04 September 2015

Kamis, 03 September 2015

Senin, 24 Agustus 2015

Panjat Pinang Sebagai Hiburan 17 Agustusan

Berdebat tentang Hiburan Panjat Pinang

 

            Dengan mengucapkan syukur kehadiran Allah S.W.T, bangsa Indonesia baru saja beberapa hari yang lalu merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT-RI) yang ke-70, yang dalam arti yang lain bangsa kita telah terbebas dari berbagai bentuk penindasan, penjajahan, dan eksploitasi bangsa bangsa lain atas bangsa kita. Semoga kemerdekaan yang telah diraih bangsa kita semakin memberi arti atas kehidupan yang berperi kemanusiaan dan berperi kedadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

            Menyadari pengahayatan atas nikmat kemerdekaan yang telah diraih bangsa kita, maka tidak heran setiap momen perayaan HUT RI  17 Agustus, selalu mendapat mendapat apresiasi yang luas dari semua lapisan masyarakat di seluruh Indonesia, bahkan dengan menggelar berbagai acara resmi maupun hiburan, dan lomba-lomba yang pada intinya berusaha mengantarkan imajinasi kita atas pentingnya arti sebuah perjuangan.

            Diantara sekian banyak acara yang digelar dalam rangka memperingati HUT RI, salah satunya adalah hiburan rakyat yang dinamakan dengan panjat pinang. Demikian legendarisnya acara panjat pinang ini, sehingga Benyamin Sueb (Benyamin S). justru merasa perlu untuk mengabadikannya dalam sebuah lagu berjudul “Panjat Pinang”.  Sampai dengan perayaan HUT-RI yang ke 70, yang baru saja kita peringati beberapa hari yang lalu, acara panjat pinang tetap menjadi pilihan yang paling diminati di hampir seluruh Nusantara. Oleh sebab itu pantaslah rasanya jika acara panjat pinang tersebut dilihat sebagai sebuah warisan kebiasaan hiburan rakyat dari sebuah waktu di masa lampau.

              Dalam konteks sejarah, ada banyak versi yang mengkisahkan tentang asal-usul acara panjat pinang dalam masyarakat di Indonesia yang telah menjadi lomba khas 17 Agustus-an. Sebuah perlombaan yang memperebutkan sejumlah hadiah di ujung sebatang pohon pinang yang dilumuri pelumas, yang tetap masih populer hingga sekarang. Salah satu diantaranya mengisahkan bahwa panjat pinang telah dikenal bangsa kita melalui salah satu tradisi dari panjat pinang yang populer di Fujian, Guangdong dan Taiwan yang berkaitan dengan perayaan festival hantu. Perayaan ini tercatat pertama kali pada masa dinasti Ming yang disebut sebagai "qiang-gu". Namun pada masa dinasti Qing, permainan panjat pinang ini pernah dilarang karena sering timbul korban jiwa. Sewaktu Taiwan berada di bawah pendudukan Jepang, panjat pinang mulai dipraktekkan lagi di beberapa tempat di Taiwan berkaitan dengan perayaan festival hantu. [1]

            Di negeri kita diperkirakan permainan panjat pinang berasal dari kebudayaan Festival Hantu, dari masyarakat keturunan Cina di daerah Bogor, sekitar abad ke 5. Mulanya festival hantu biasa dilakukan hanya di sekitaran kelenteng saja yang di depan kelenteng biasanya dipasang pohon pinang yang di ujungnya ditancapkan bendera. Batang pohon pinang dilumuri minyak pelicin. Perbedaannya adalah para peserta hanya diminta untuk mengambil bendera berwarna merah, bukan mengambil hadiah dari puncak pohon pinang tersebut.

            Dalam sumber yang lain dikisahkan bahwa permainan panjat pinang ini dilanjutkan (dikembangkan) oleh kolonial Belanda di negeri kita sejak kira-kira tahun 1930-an. Dikatakan, bahwa permainan ini digelar oleh orang-orang Belanda pada saat mereka sedang melangsungkan acara-acara tertentu seperti acara pernikahan mereka, ulang tahun, dan lain sebagainya. Peserta panjat pinang hanya akan diperuntukkan atau dilakukan oleh masyarakat pribumi, sementara mereka para Londo bertindak sebagai penonton yang siap untuk menertawakan para pribumi yang saling menginjak menaiki pohon pinang tersebut. Hadiah yang digantungkan di pucuk pohon pinang biasanya adalah berupa bahan-bahan makanan seperti gula, keju, atau pakaian, yang merupakan bahan-bahan yang sangat sulit didapatkan untuk bangsa kita alias barang mewah. Permainan ini digelar sebagai tontonan atau hiburan para masyarakat Belanda. Kelicinan dan kesulitan untuk mencapai puncak, jatuhnya peserta yang mencoba mencapai puncak menjadi hiburan tersendiri bagi mereka.

            Terlepas dari sejarahnya yang demikian itu, perlombaan panjat pinang, dalam era sekarang ini, memang tidak lagi merupakan perlombaan yang hanya mengandalkan individu yang saling berebut untuk mendapatkan hadiah diujung batang pinang, namun lebih tampak sebagai team work, yaitu kerja tim yang saling bergantian dan saling menyongkong dalam satu kelompok agar bisa mencapai dan mendapatkan hadiahnya. Sehingga dalam batas-batas tertentu permainan ini kemudian menjadi sebuah permainan yang dipandang wajar, yaitu ketika ada pihak yang menjadi penonton dan ada pihak yang menjadi pemain dan ketika ke-dua pihak ini tidak lagi berada dalam posisi "si tuan penjajah" dan "mereka yang dijajah".[2] Namun yang terpenting adalah apakah perlombaan panjat pinang tersebut masih perlu dipertahankan sebagai bentuk perlombaan yang mendidik, dalam rangka menghayati makna nilai perjuangan atas kemerdekaan bangsa kita.

            Jika kembali ke zaman penjajahan, maka fenomena saling injak dan saling sikut diantara sesama bangsa kita untuk mendapatkan keberuntungan, memang menjadi tontonan yang biasa bagi mereka. Perilaku semena-mena dan bahagia melihat orang lain menderita seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan keseharian mereka yang bernama Londo. Para peserta dari pribumi kita saat itu, tanpa rasa iba menginjak tubuh dan bahkan kepala sesamanya untuk mendapatkan hadiah. Jika mereka gagal untuk sampai ke puncak dan jatuh, maka para penonton (Londo) bertepuk tangan dengan riang gembira, seakan-akan penderitaan para peserta lomba merupakan kebahagiaan bagi para penontonnya.

            Asep Kambali, seorang sejarawan dari Komunitas Historia Indonesia telah berkali-kali meminta agar semua pihak dapat memaklumi tentang seremoni panjat pinang dalam perayaan HUT RI yang dianggapnya kurang mendidik dan tidak terkait dengan makna simbolis moment kemerdekaan (www.bbc.com, 11/8/2015), disamping justru mempertontonkan kebodohan masalalu kita dalam pentas hegomony kolonial yang menganggap bangsa kita sebagai tontonan pembuktian kelas sosial.

Jikapun tujuannya hanya sekedar untuk mendapatkan sebuah tontonan rakyat yang murah meriah (seru dan lucu) dalam efent perayaan 17 Agustusan, bukankan lebih baik menggantinya dengan berbagai tontonan murah lain yang lebih mendidik, lebih bermakna, dan lebih berkreatif menuju efent yang lebih besar dan luas, misalnya lomba baca puisi perjuangan, lomba teaterikal, dan lain-lain. Itulah sebabnya mengapa Darma (seorang sejawan)  juga bertanya, “apasih bangganya menang lomba panjat pinang di tingkat kelurahan ?”.

            Pada akhirnya tentu kita tidak ingin menolak secara drastis perlombaan panjat pinang dalam moment perayaan 17 Agustusan, karena bagaimanapun lomba panjat pinang memang cukup menarik perhatian masyarakat. Namun dilain pihak semestinyalah masyarakat juga lebih diarahkan pada lahirnya daya kreativitas yang lebih menanamkan nilai-nilai kepahlawanan dan cinta tanah air dalam kegiatan perayaan 17 Agustusan di masa depan. [3]

 

Continue reading

Selasa, 04 Agustus 2015

Buku Langka



Buku Tua Abad Ke-19  di perpustakaan Harvard

(Sampul dari kulit manusia)

 

Beberapa waktu yang lalu, pernah beredar kabar kalau Harvard University memiliki koleksi buku-buku tua yang bersampul kulit manusia. Rumor ini sempat mengundang kehebohan dari para pengguna internet. Baru-baru ini para ahli di harvard Univesity telah mengonfirmasi kebenaran kabar ini. Salah satu buku tua dari abad 19 yang menjadi bagian dari koleksi di perpustakaan universitas terkemuka dunia itu memang terbungkus sampul yang dibuat dari kulit manusia asli.
Setelah melalui serangkaian pengujian di laboratorium, terbukti kalau sampul buku berjudul Des destinees de l'ame karya penulis Prancis Arsene Houssaye tersebut 99,9 persen asli kulit manusia. Menurut keterangan perwakilan perpustakaan Harvard University seperti dilansir CNN, buku tersebut merupakan hadiah Houssaye kepada Dr. Ludovic Bouland, salah satu sahabatnya yang berprofesi sebagai dokter pada tahun 1880-an. Houssaye mendeskripsikan buku tersebut sebagai 'meditasi tentang jiwa dan hidup setelah kematian.
Bouland kemudian melapisi buku tersebut dengan sampul yang terbuat dari kulit jenazah seorang pasien gangguan mental yang meninggal karena stroke. Identitas si empunya kulit tak diketahui hingga sekarang sebab ketika meninggal dunia tak ada anggota keluarga atau kerabat yang mengklaim jenazah wanita tersebut. Di buku itu sendiri Bouland meninggalkan catatan yang mengukuhkan kisah seram mengenai buku itu. "Sebuah buku tentang jiwa manusia layak mendapatkan sampul dari manusia," tulisnya.
Buku milik Bouland ini ternyata bukan yang pertama dan satu-satunya yang dihiasi kulit manusia. Menyampuli buku dengan kulit manusia ternyata praktik yang sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu. Sejak abad 16 pengakuan bersalah para kriminal biasa dijilid menjadi buku dengan sampul yang terbuat dari kulit mereka sendiri setelah eksekusi. Kadang anggota keluarga seseorang yang sudah meninggal sengaja memesan buku dengan sampul yang terbuat dari kulit mendiang sebagai kenang-kenangan.
Saat ini buku Des destinees de l'ame milik Bouland tersebut merupakan satu-satunya koleksi buku milik harvard yang bersampul kulit manusia. Tetapi besar kemungkinan bahwa masih ada sejumlah buku serupa di seluruh dunia, yang mungkin saja anda adalah salah satu kolektornya.


Dikutip dari : http://www.merdeka.com


Continue reading

Minggu, 26 Juli 2015

Pengantar Sej. Kebudayaan Islam

Memahami Dasar-dasar Sejarah Kebudayaan Islam

Memahami Dasar-dasar Sejarah Kebudayaan Islam

(Pengertian Sejarah Kebudayaan Islam)

 

A. Pengertian Sejarah :

  • Kata sejarah yang kita kenal dalam bahasa Indonesia kita sehari-hari ternyata bearasal dari kata dalam bahasa Arab, yakni “syajarah”. Kata tersebut secara harfiah berarti “riwayat” atau “kisah”, meskipun dalam tradisi bahasa Arab sendiri, kata sejarah yang kita kenal sering disebut dengan istilah “tarikh”, yang mengandung arti ketentuan masa atau waktu. Sebagaimana kata “syajarah” yang berari pohon, maka ia mengandung makna segala sesuatu yang berkaitan dengan pohon, sejak dari proses tumbuh hingga kepada segala sesuatu yang dihasilkannya, atau dengan kata lain catatan yang lengkap mengenai sesuatu (kejadian). Itulah sebabnya mengapa sebagian orang juga berpendapat bahwa kata sejarah dalam bahasa kita, sepadan dengan kata syajarah yang berarti pohon (kehidupan), dan kata sejarah diartikan sebagai kejadian atau peristiwa yang benar-benar terjadi (fakta) di masa lampau.

B. Pengertian Kebudayaan :

  • Sedangkan kata “kebudayaan” dalam bahasa kita ternyata juga berasal dari kata dalam bahasa Sansakerta yaitu “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi dan daya yang mendapat imbuhan awalan dan akhiran  “ke” dan “an” (kebudayaan). Budi mempunyai arti akal, kelakuan, dan norma, sedangkan “daya” berarti hasil karya cipta manusia, atau segala upaya untuk menghasilkan dan mengembangkan sessuatu agar menjadi lebih baik dan memberikan manfaat bagi hidup dan kehidupan.
  • Dengan demikian, kebudayaan tentulah akan bersangkut paut dengan semua hasil karya, karsa dan cipta manusia didalam masyarakat. Namunpun demikian, istilah "kebudayaan" terkadang dikaitkan juga dengan istilah "peradaban", perbedaannya adalah bahwa kebudayaan lebih banyak diwujudkan dalam bidang seni, sastra, religi dan moral, sedangkan peradaban lebih menekankan (diwujudkan) dalam bidang politik, ekonomi, dan teknologi.
  • Jika secara bahasa (“Aslama-Yuslimu-Islaman”), Islam berarti selamat, penyerahan, kepatuhan, atau ketundukan, atau yang menurut istilah berati agama yang di turunkan oleh Allah SWT untuk membimbing umat manusia menuju kebahagian di dunia dan akhirat,  dan apabila kedua kata tersebut (Sejarah dan Kebudayaan) diatas dikaitkan dengan Islam, maka Sejarah Kebudayaan Islam setidaknya dapat berarti sebagai “kajian (studi) tentang segala sesuatu yang di hasilkan oleh umat Islam untuk kemaslahatan hidup dan kehidupan manusia, melalui hasil karya, karsa dan cipta umat Islam yang didasarkan kepada nilai-nilai ajaran Islam”.

 

 

Kesimpulan :

Sejarah Kebudayaan Islam adalah suatu kajian (Studi) tentang kejadian atau peristiwa masa lampau yang berbentuk hasil karya, karsa dan cipta umat Islam yang didasarkan kepada sumber dan nilai-nilai Islam.

Continue reading

Rabu, 01 Juli 2015

Kepercayaan Perekat Hubungan

"Perekat yang menyatukan suatu
hubungan, termasuk hubungan antara
pemimpin dan yang dipimpin adalah
kepercayaan, dan kepercayaan itu
dibangun atas dasar integritas." -
Brian Tracy



Dear Sahabat yang amanah,


Kepercayaan adalah fondasi dari semua hubungan.

Hubungan kerja, bisnis, kepemimpinan dan tentu saja cinta dibangun atas dasar kepercayaan. Tanpa itu, sebuah hubungan tak akan berjalan, sebuah organisasi pun akan kacau.

Bayangkan jika Anda berada dalam sebuah lingkungan, hubungan atau organisasi tanpa kepercayaan, para pekerjanya saling curiga satu sama lain dan para atasannya berusaha mempertahankan posisinya masing-masing dengan segala cara. Organisasi seperti itu sangat rapuh dan tinggal menunggu waktu untuk hancur.

Sahabatku, sebagai seorang pemimpin, Anda harus menginvestasikan banyak waktu untuk membangun kepercayaan dari bawahan atau pengikut Anda.  Kepercayaan itu sebenarnya dibangun atas fondasi sederhana. Jalanilah kehidupan dengan penuh integritas dan hormati orang lain. Konsistensi dalam kata dan perbuatan. Melakukan dan menepati apa yang Anda katakan pada orang lain.

Sebelum Anda mengharapkan orang lain percaya pada Anda, sebagai pemimpin Anda harus percaya dahulu pada orang lain. Delegasikan kewenangan Anda pada mereka. Mereka pun akan merasa dipercaya atas kemampuan mereka.

Butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan dan hanya butuh waktu beberapa detik untuk menghancurkannya. Belajarlah mempercayai, belajarlah untuk jadi orang yang dipercaya.

Salam hangat selalu dari sahabatmu, Ahira

Continue reading

Temuan Jejak Candi Kuno Aceh Utara






       Supriadi Ibrahim warga Dusun Cot Calang Gampong Riseh Tunong Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Utara, menemukan susunan batu berupa Candi dengan ketinggian lima meter di wilayah hulu sungai Jeurengeh, Cot Calang Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Utara. Penemuan baru yang diduga candi peninggalan pada masa peradaban sebelum Islam ditemukan di wilayah hulu sungai Jeurengeh, Dusun Cot Calang Gampong Riseh Tunong Kecamatan Sawang Aceh Utara. Tumpukan berupa susunan batu dengan ketinggian 5 meter, lebar 1 meter tertumpuk sejajar dan rapi dengan ukuran tebal 50 cm dan panjang 70 cm perbatu, dan panjang sekitar 430 meter. Supriadi Ibrahim menemukan-nya ketika sedang mencari rumput untuk ternaknya. Kemudian Supriadi memberitahukan kepada warga, kepala dusun dan Geuchik atas temuan tumpukan batu yang diduga jejak candi peninggalan zaman peradaban sebelum Islam. Candi tersebut seperti biasanya dibuat khusus oleh penganutnya yang diduga sebagai tempat  beribadah dan tempat penyembahan sesajen, untuk memphon keberkahan sesuai kepercayaan mereka.
     Supriadi bersama warga sudah meneliti tumpukan batu tersebut, tetapi sejauh pencariannya tidak menemukan pintu masuk kedalam candi tersebut. Bisa jadi karena keberadaan candi tersebut yang telah berumur berabat-abat sehingga pintu masuk kedalam candi sudah tertutup rapat. Pada saat terjadinya gempa bumi 26 Desember 2004 didaerah ini pernah terjadi lonsor besar yang mengakibatkan pengesaran gunong kecil yang berada dikawasan Krueng Jeureugeh. Kepala Dusun Cot Calang Gampong Riseh Tunong, Abdul Manaf berharap candi yang ditemukan oleh warganya agar bisa dilestarikan dan dijaga sebaik mungkin. Akan tetapi semua itu tergantung kepada pihak pemerintahan yang akan melakukan apa terhadap penemuan baru tersebut. “Semoga penemuan candi tersebut bisa diketahui oleh seluruh masyarakat Aceh, rakyat Indonesia dan masyarakat internasional bahwa di Kabupaten Aceh Utara masih tersimpan pradaban kuno yang punya nilai sejarah,”harap Abdul Manaf. 
          Untuk bisa tiba kelokasi penemuan batu bersusun rapi yang disebut-sebut sebagai candi peninggalan itu harus berjalan menempuh areal gunung Lhee Sagoe dengan menempuh perjalanan kurang lebih 6 jam, yakni tiga jam dengan mengendarai sepeda motor kemudian harus berjalan kaki 3 jam, karena mendaki gunung-gunung kecil dan tidak bisa sepeda motor. 



    Sementara itu, Keuchik Gampong Riseh Tunong, Buchari Budiman saat ditemuai himasaacut.blogspot.com menyebutkan bahwa gampong Riseh Tunong terdiri dari lima dusun meliputi; Dusun Blang Ranto, Dusun Cot Calang, Dusun Padang Sakti, Dusun Lhok Baro dan Dusun Lambayong. Batas wilayah Gampong Riseh Tunong, sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah, Sebelah Timur dengan Gampong Alue Ie Mudek, Sebelah Barat dengan Duson Alue Anoe Gampong Gunci, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan gampong Riseh Teugoh. Sedangkan Pusat administrasi Pemerintahan gampong Riseh Tunong berada di Dusun Lambayong, yang merupakan gampong dasar. Gampong Riseh Tunong dipimpin pertama kali oleh Alm. Keuchik Muhammad Hasan (Abu Keuchiek Hasan), Alm. Keuchik Muhammad (Keuchik Ahmad), Alm. Keuchik Abdullah Matsyah, (Keuchik Lah) dan Alm. Tgk. Keuchik A. Rahman Syah (Kechik Do). Abu Keuchik Muhammad Hasan adalah keturunan dari Tgk. Guha Gunong. Sedangkan Tgk. Guha Gunong adalah keturunan dari Tgk. Cot Pakeh (kuburannya berada di dekat sugai Ara Liupeh, Peusangan). Menurut cerita kuburan Tgk. Cot Pakeh adalah kuburan keramat. Sementara Tgk. Cot Pakeh memiliki saudara dengan Tgk. Guha Di Samuti, Kecamatan Gandapura Kabupaten Bireuen. 
         Keuchik Riseh Tunong, Buchari Budiman menyebutkan untuk menuju candi yang berada di gunung Lhee Sagoe harus menempuh waktu perjalanan 6 jam sampai 8 jam. Perjalanan ke tempat candi bisa ditemput dari berbagai arah, bisa lewat Dusun Blang Ranto, Dusun Lhok Baro dan yang paling mudah dilewati melalui Dusun Cot Calang. Mayoritas Masyarakat Gampong Riseh Tunong yang berdekatan Gampong Gunci Kecamatan Sawang Aceh Utara adalah petani dengan mata pecaharian utama pada pinang, coklat (kakao), kemiri dan sawah. Kalau tanaman buah-buahan adalah durian yang sering dikenal dengan sebutan “boh drien.

Pemerintah Berusaha Menggali
         Terkait penemuan sebuah bangunan yang menyerupai persis batu candi di kawasan hutan Dusun Cot Calang Gampong Riseh Kecamatan Sawang, Aceh Utara, menurut Kabid Kebudayaan dan Pariwisata Dishubbudpar Aceh Utara, Ir. Nurliana NA, candi kuno tersebut bukti sejarah Pra Islam yang pernah masuk ke Aceh khususnya Aceh Utara. "Itu berdasarkan penelitian tim ekspedisi pariwisata dan kebudayaan Aceh Utara. Namun itu masih sebatas perkiraan kita saja, dan belum dapat dipastikan," katanya, Kamis (14/03/2013). Konon, pada masa Pra Islam saat itu, candi tersebut kerap dijadikan sebagai tempat pesugihan. "Dugaan kita bahwa batu-batu yang tersusun secara rapi itu pernah dijadikan tempat pesugihan. Tapi kita coba meneliti lebih detail lagi bersama tim ekspedisi," katanya lagi. Pihaknya juga akan koordinasi dengan pihak Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh untuk menggali situs sejarah itu. Jika terbukti, maka lokasi yang terdapat bebatuan candi kuno itu akan segera direnovasi. "Kita sedang koordinasi dengan BPCB untuk menggali penemuan langka ini. Jika terbukti maka kita renovasi," tutup Nurliana kepada The Globe Journal.

Sekilas tentang Gampong Riseh.
          Dulu Riseh dikenal dengan sebutan “TRI BUKIT” yang artinya tiga Riseh yaitu Riseh Baroh, Riseh Teugoh dan Riseh Tunong. Adapun Mesjd pertama di Gampong Riseh (Tri Bukit) berada di Gampong Riseh Teugoh, yang disebut dengan Mesjid Mukim. Sementara lapangan bola kaki, juga diberi nama dengan sebutan lapangan TRI BUKIT, terletak di antara gampong Riseh Teugoh dan Gampong Riseh Baro.Menurut riwayat pula, ada beberapa kuburan syuhada para pejuang Aceh zaman dulu. Misalnya di Gampong Riseh Tunong ada kuburan Tgk. Lambayong. Menurut cerita, letak kuburan Tgk. Lambayong berada di pinggiran sugai.
         Tgk. Lambayong menurut riwayat, semasa hidupnya beliau merupakan sosok yang alim dan pemberani dalam melawan penjajahan kafir Belanda dan Jepang. Sementara di Gampong Riseh Baro menurut keterangan salah seorang tokoh masyarakat Mahfuddin (Bang Fuddin) juga ada kuburan Tgk. Lam Kubu, letak kuburanya di belakang Mesjid Gampong Riseh Baroh. Menurut cerita masyarakat dari mulut kemulut, pedang yang dimiliki oleh Tgk Ahmad Dewi berasal dari Tgk. Lam Kubu. Menurut cerita pula, Tgk. Muhammad Daud Beureueh pada zaman penjajahan Jepang dan Belanda pernah singgah dan menginap di Gampong Riseh Tunong dusu Lambayong. Kehadiranya dalam rangka meminta bantuan kepada pejuang Aceh yang ada di gampong Riseh (Pang Riseh) untuk membantu perjuangan Aceh. (fz)



Written By Fazir Himasa on Kamis, 14 Maret 2013 | 22.04







Continue reading

Selasa, 30 Juni 2015

Jejak Para Tokoh Legendaris Kami





Mayor Bachtiar Dahlan, Ketua TKR Langsa
Sang Pelopor Pelucutan Senjata Jepang di Langsa dan Aceh Timur
Pemimpin Pertempuran Melawan Tentara Jepang




 Bpk. Usman Ams
Satu dari sebelas pelaku sejarah yang masih hidup
Dalam peristiwa penaikan bendera Merah Putih pertama di Langsa




 Hanafiah Dun (Peutua Piah)
Tokoh Legendaris Dagang Barter via Penang dan Malaya
Gasida Langsa

Continue reading

Pasar Langsa Baro


Akankah bangunan semewah ini juga akan mengalami nasib yang sama
Setelah dilahirkan lalu ditelantarkan
Apa yang salah dengan bangunan yang telah sekian lama selesai ini ?






Pemberdayaan ekonomi pro-rakyat .... ?


Jadi ngini ya, dulu waktu nyalon, ngomongnya akan menyelesaikan persoalan besar masyarakat yang tidak kunjung selesai, yaitu kemiskinan dan kebodohan, intinya akan memberi kesempatan kepada rakyat untuk lebih berjaya secara mandiri, istilahnya waktu itu pro rakyat.
 Tapi sekarang rasanya kok malah bikin bingung, apa sih yang dimaksud dengan pro rakyat itu ? apakah itu artinya suatu ekonomi yang diusahakan oleh para pengambil kebijakan dan sebagian untungnya untuk pemberdayaan rakyat, atau rakyat yang diberdayakan agar menjadi pengusaha yang mampu bersaing dan mandiri ?
 


Continue reading

Waspadai Bersama



Tetap waspadai, jangan sampai jejak bangunan tua ini ditelan lagi
oleh birahi bisnis kaum berdasi




Sebuah jejak bangunan berarsitektur Eropa
Waspadai, mengapa harus ditelantarkan ?



Satu-satunya yang masih tersisa di Jalan Teuku Umar




Continue reading

Sabtu, 27 Juni 2015

Sulitnya Bicara Sejarah


Dikutip dan diedit dari Judul Aslinya : “Pengeboman Dresden (1945), 
Pembantaian Keji Sekutu atas Jerman”. 
Oleh : Cahyono Adi. 

     
Ada banyak sekali kisah atau fakta sejarah selama ini, ternyata hanyalah kita dapatkan dari informasi sepihak, khususnya mengenai Perang Dunia II, yaitu informasi dari pihak pemenang (penguasa), yang dalam hal ini berarti dari sekutu, Amerika-Inggris-Perancis-Uni Sovyet dan negara-negara ZOG (zionist occupied goverments) lainnya. Kita bahkan jarang sekali, kalau tidak bisa dikatakan tidak pernah, mengetahui dari sudut pandang lawan sekutu, yaitu pihak yang terkalahkan, semisal Jerman-Italia-atau juga Jepang. Kita misalnya tidak pernah mengetahui motif Hitler membiarkan ratusan ribu Tentara Ekspedisi Inggris yang terkepung di Dunkirk, Perancis, melarikan diri kembali ke Inggris. Kita tentu juga sangat jarang, kalau tidak dikatakan tidak pernah, mendengar tentang peristiwa Pemboman Dresden, meskipun sebenarnya itu adalah sebuah peristiwa paling memilukan dalam kisah sejarah tentang Perang Dunia II. 
       Dresden pada tahun 1945 adalah kota yang indah dengan 650.000 penduduknya yang ramah. Pada tgl 13 Februari 1945 kota ini dipenuh dan disesaki oleh sekitar 750.000 pengungsi Jerman yang melarikan diri dari kekejaman tentara komunis-yahudi Uni Sovyet. Mereka berkemah di taman-taman dan tanah lapang yang ada, bahkan di trotoar dan jalan-jalan. Mereka merasa aman di sana karena Dresden bukan saja kota yang memiliki fasilitas militer dengan target serangan musuh. Sebaliknya Dresden adalah "kota rumah sakit" yang memiliki 25 rumah sakit dan fasilitas-fasilitas medis yang besar. Mereka juga sadar bahwa menurut hukum internasional, kota mereka tidak mungkin menjadi sasaran serangan militer sebagaimana Jerman juga tidak pernah menyentuh "kota-kota pendidikan" di Inggris seperti Oxford dan Cambridge.
       Namun anggapan mereka ternyata keliru. Pada jam 10.15 malam sebanyak 800 pesawat bomber dan pesawat-pesawat tempur pengawal Inggris memenuhi langit Dresden dan menumpahkan berton-ton bom penghancur. Ribuan orang tewas maupun luka-luka dalam satu serangan tersebut. Saat pesawat-pesawat itu menghilang dari langit, penduduk dan pengungsi yang selamat keluar dari persembunyian untuk memberikan pertolongan para korban. Demikian juga ribuan penolong dari kota-kota dan desa-desa sekitar, segera bergegas menuju Dresden. Mereka tidak pernah membayangkan peristiwa tragis ini baru saja terjadi. Tentu saja mereka juga tidak pernah menyangka bahwa berhentinya serangan hanyalah sebuah tipuan belaka. Karena disaat jalan-jalan sedang dipenuhi para penolong dan korbannya, gelombang kedua serangan udara Inggris yang mematikan kembali datang menghantam. 
       Serangan kedua bahkan memberikan dampak kehancuran yang jauh lebih besar dari pada kota yang masih dipenuhi bara api serangan pertama. Api berkobar lebih hebat lagi membakar. Demikian hebatnya kebakaran dan panas yang ditimbulkannya hingga para penolong dari luar kota demikian kesulitan untuk memasuki kota. Sementara ribuan penduduk Dresden dan pengungsi justru sedang terbakar hidup-hidup. 
       Cerita tentang kengerian dari peristiwa itu sebenarnya demikian tidak terkatakan. Saat anak-anak kecil yang terpisah dari orang tuanya terjebak di dalam genangan aspal yang meleleh karena panas. Atau saat anak-anak kecil terinjak-injak oleh orang-orang yang berebut jalan untuk menyelamatkan diri. Hal seperti ini tentunya tidak pernah dialami rakyat Inggris, Amerika dan sekutu-sekutunya. 
       Bencana kemanusiaan ini belum berhenti karena keesokan harinya giliran Amerika unjuk gigi. Sebanyak 400 pesawat pembom menumpahkan muatannya dan pesawat-pesawat tempur menembaki orang-orang di jalanan termasuk para tenaga medis yang tengah merawat pasien di sepanjang jalan tepi Sungai Elbe.
        Namun itu semua masih belum berakhir karena tiga serangan lanjutan telah direncanakan tentara sekutu: 15 Februari, 3 Maret, dan 17 April 1945 dengan total pesawat pengebom mencapai 1.172 unit. Korban tewas diperkirakan mencapai 400.000 jiwa, atau bahkan lebih. Dan karena Jerman tidak memiliki cukup orang untuk melakukan evakuasi, mayat-mayat hanya disemprot dengan disinfektan atau api kemudian dikubur bersama reruntuhan bangunan. 
         Sebagaimana ditulis oleh Jendral Patton, kamandan pasukan sekutu yang berhasil mengalahkan dan menduduki Jerman, dalam buku hariannya, pemerintahan sipil sekutu, terutama Amerika dan Inggris, secara sistematis berupaya melakukan pembersihan etnis terhadap warga kulit putih Jerman, semata-mata dengan motif balas dendam orang-orang yahudi kepada mereka. Antara 800.000 sampai 1,1 juta tawanan perang Jerman dibiarkan tinggal di kamp tawanan tanpa atap dan alas selama berbulan-bulan menahan kelaparan, kepanasan dan kedinginan. Warga sipil Jerman diusir dari rumah-rumah mereka untuk diisi oleh orang-orang yahudi yang didatangkan dari Uni Sovyet dan Eropa Timur. Sekitar 500.000 tawanan perang lainnya, sipil maupun militer, dikirim ke Siberia untuk menjalani kerja paksa. Bagi para wanita Jerman, masa-masa terakhir regim Nazi adalah neraka sesungguhnya. Mereka hanya mempunyai dua pilihan: diperkosa oleh tentara Uni Sovyet atau dibom oleh pesawat pembom Amerika dan Inggris.
        Diperkirakan sekitar 5 juta warga Jerman secara sistematis dibiarkan mati kelaparan selama 5 tahun setelah perang oleh tentara sekutu yang menduduki Jerman. 
       Dan karena yahudi mengontrol pemerintahan dan media massa barat, bahkan warga Jerman sendiri tidak banyak mengetahui tentang tragedi Dresden. Yahudi menginginkan hak eksklusif sebagai korban perang, hingga meski korban perang justru bukan orang yahudi, mereka terus saja mengkampanyekan "holocoust". Tujuannya tentu saja agar mereka bisa tetap terus "memeras" seluruh masyarakat di dunia. Hingga kini misalnya, negara-negara barat terus memberikan bantuan "kompensasi korban perang" kepada Israel. Pada dekade 90-an, ketika memori rakyat Eropa tentang "holocoust" meredup, orang-orang yahudi dibawah koodinasi World Jewish Association justru mengkampanyekan "holocoust" yang oleh pengkritiknya disebut sebagai "holocoust industry". Mereka memeras perbankan Jerman dan Swiss dengan dalih mendapatkan keuntungan ilegal dari dana-dana masyarakat yahudi yang hangus selama perang, hingga dalam sekali tepuk berhasil meraup miliaran dolar. Namun, seperti biasa, dana kompensasi itu sebagian besar justru masuk ke kantong pribadi tokoh-tokoh yahudi, bukan para korban perang sebenarnya. 
    "Holocoust industry" adalah upaya-upaya sistematis orang-orang yahudi untuk melanggengkan kenangan palsu "holocoust" sembari mendapatkan keuntungan melimpah darinya. "Holocoust industry" termasuk museum-museum holocoust di beberapa negara barat, pendidikan "holocoust", LSM-LSM, buku-buku, film-film dan sebagainya. Film-film Hollywood tentang Perang Dunia II hampir pasti juga bagian dari "holocoust industry".
       Ketika rakyat Ukraina ingin memperingati peristiwa "Holomador", lobi internasional yahudi menolaknya dengan keras. "Holomador" adalah "etnis cleansing" terhadap rakyat Ukraina oleh regim komunis Uni Sovyet yang didirikan dan dijalankan secara eksklusif oleh orang-orang yahudi. Ukraina yang sebenarnya adalah lumbung gandum, namun faktanya justru mengalami bencana kelaparan massal yang menewaskan sekitar 7 juta penduduknya karena hasil panen dirampas oleh regim komunis sebelum terjadinya Perang Dunia II. Mereka juga menentang peringatan pembantaian etnis Armenia oleh Kemal Attaturk, seorang yahudi "domne" Turki. 

       Tujuan lainnya adalah agar hak eksklusif korban perang hanya menjadi milik yahudi, dan untuk memberi alasan kepada mereka melakukan terorisme terhadap rakyat Palestina. Mereka berharap masyarakat dunia memaklumi pendudukan yahudi atas Palestina karena "yahudi membutuhkan negeri sendiri" setelah mengalami "holocoust". 



Sumber : www.cahyono-adi.blogspot.com 


Continue reading

Jumat, 26 Juni 2015

Edi Ookust van Atjeh



Salah satu verklaring yang pernah ditandatangani oleh
Uleebalang Idi pada 15 April 1874






Uleebalang Idi dan Jajarannya bersama petinggi Angkatan Laut Belanda di Kuala Idi
Beberapa saat sebelum penandatanganan verklaring





Petinggi Pemerintahan Uleebalang Idi bersama Kaptem Liem
Tahun 1880






Mencari Jejak Losmen Bintang Simpatik Kota Idi






Sebuah Perdebatan Tentang Jejak Perkereta Apian Era Kolonial







Surat Bukti Saham
Perusahaan Terbatas (PT) Peudawa Petroleum Maatschappij
Didirikan di Amsterdam dengan modal f. 2.300.000 (dua juta tiga ratus ribu gulden)
pada tanggal 22 Juli 1912, dan disahkan pada tanggal 16 Agustus 1912





Continue reading

Kamis, 25 Juni 2015

Bertengkar dengan sejarah





Sebuah Akta Pengakuan yang ditandatangani Uleebalang van het Landschap Langsar 
met het onderhoorige Manyak Paed, pada 18 Mei 1877
(3 tahun setelah verklaring Tamiang dan Idi)




Sebuah jejak peninggalan kolonial tentang air bersih  
(sekarang bernama PDAM Tirta Keumuning Langsa)





Perusahaan Perkebunan Karet (rubberplantage) 
Langsa Estate Kebun Lama 1924




Bukti saham dari Perseroan Terbatas Amsterdam Langsa Rubber Maatschappij, 
dikeluarkan pada bulan Oktober 1925, dan disahkan dihadapan 
notaris M. van Reil te Amsterdam Verleden Belanda 
pada tanggal 06 Maret 1930




Stasiun Kereta Api Kuala Langsa di era kejayaan Uleebalang 
  


Kantor Urusan Administrasi dan Ekspor Karet 
Kolonial Belanda di Langsa





Continue reading

Menelusuri Jejak Negeri Penita Po Segadjah





Salah satu Verklaring yang ditandatangani Tengkoe Radja Bendahara, 
hoofd van de Kampong Seroewai Tamiang, 3 Mei 1874, 
(42 hari sebelum penandatangan Verklaring Idi)




Banjir Negeri Tamiang tahun 1907 dalam catatan kolonial



Mencari Jejak Keluarga Bangsawan Negeri Benua Tanu 




Berkalang Tanah Bersisa Adat
Kaseh Pape Setie Mati



Paduka Tengku Raja Silang
Zelfbestuurder van Landschap Tamiang
(Dalam Rangka menemukan Jejak Terakhir Paduka Seri Tengku Besar Muhammad Arifin)





Mencari jejak kejayaan masa lampau Negeri Muda Sedia

Pembangunan dan pengembangan perkebunan karet (rubberplant)
op de Onderneming Tamiang, tahun 1925




Kemajuan Perkebunan Karet Tamiang dan 
sistim pengairannya(drainase), tahun 1930.



Percobaan dan pengembangan tanaman perkebunan kelapa sawit
oleh Mopoli Estate Tamiang, tahun 1930  



Gedung Bioskop dan perhotelan 
Wajah baru negeri kami paska persentuhan anasir 
arsitektur kolonial tahun 1900-an



Continue reading