Sabtu, 27 Juni 2015

Sulitnya Bicara Sejarah


Dikutip dan diedit dari Judul Aslinya : “Pengeboman Dresden (1945), 
Pembantaian Keji Sekutu atas Jerman”. 
Oleh : Cahyono Adi. 

     
Ada banyak sekali kisah atau fakta sejarah selama ini, ternyata hanyalah kita dapatkan dari informasi sepihak, khususnya mengenai Perang Dunia II, yaitu informasi dari pihak pemenang (penguasa), yang dalam hal ini berarti dari sekutu, Amerika-Inggris-Perancis-Uni Sovyet dan negara-negara ZOG (zionist occupied goverments) lainnya. Kita bahkan jarang sekali, kalau tidak bisa dikatakan tidak pernah, mengetahui dari sudut pandang lawan sekutu, yaitu pihak yang terkalahkan, semisal Jerman-Italia-atau juga Jepang. Kita misalnya tidak pernah mengetahui motif Hitler membiarkan ratusan ribu Tentara Ekspedisi Inggris yang terkepung di Dunkirk, Perancis, melarikan diri kembali ke Inggris. Kita tentu juga sangat jarang, kalau tidak dikatakan tidak pernah, mendengar tentang peristiwa Pemboman Dresden, meskipun sebenarnya itu adalah sebuah peristiwa paling memilukan dalam kisah sejarah tentang Perang Dunia II. 
       Dresden pada tahun 1945 adalah kota yang indah dengan 650.000 penduduknya yang ramah. Pada tgl 13 Februari 1945 kota ini dipenuh dan disesaki oleh sekitar 750.000 pengungsi Jerman yang melarikan diri dari kekejaman tentara komunis-yahudi Uni Sovyet. Mereka berkemah di taman-taman dan tanah lapang yang ada, bahkan di trotoar dan jalan-jalan. Mereka merasa aman di sana karena Dresden bukan saja kota yang memiliki fasilitas militer dengan target serangan musuh. Sebaliknya Dresden adalah "kota rumah sakit" yang memiliki 25 rumah sakit dan fasilitas-fasilitas medis yang besar. Mereka juga sadar bahwa menurut hukum internasional, kota mereka tidak mungkin menjadi sasaran serangan militer sebagaimana Jerman juga tidak pernah menyentuh "kota-kota pendidikan" di Inggris seperti Oxford dan Cambridge.
       Namun anggapan mereka ternyata keliru. Pada jam 10.15 malam sebanyak 800 pesawat bomber dan pesawat-pesawat tempur pengawal Inggris memenuhi langit Dresden dan menumpahkan berton-ton bom penghancur. Ribuan orang tewas maupun luka-luka dalam satu serangan tersebut. Saat pesawat-pesawat itu menghilang dari langit, penduduk dan pengungsi yang selamat keluar dari persembunyian untuk memberikan pertolongan para korban. Demikian juga ribuan penolong dari kota-kota dan desa-desa sekitar, segera bergegas menuju Dresden. Mereka tidak pernah membayangkan peristiwa tragis ini baru saja terjadi. Tentu saja mereka juga tidak pernah menyangka bahwa berhentinya serangan hanyalah sebuah tipuan belaka. Karena disaat jalan-jalan sedang dipenuhi para penolong dan korbannya, gelombang kedua serangan udara Inggris yang mematikan kembali datang menghantam. 
       Serangan kedua bahkan memberikan dampak kehancuran yang jauh lebih besar dari pada kota yang masih dipenuhi bara api serangan pertama. Api berkobar lebih hebat lagi membakar. Demikian hebatnya kebakaran dan panas yang ditimbulkannya hingga para penolong dari luar kota demikian kesulitan untuk memasuki kota. Sementara ribuan penduduk Dresden dan pengungsi justru sedang terbakar hidup-hidup. 
       Cerita tentang kengerian dari peristiwa itu sebenarnya demikian tidak terkatakan. Saat anak-anak kecil yang terpisah dari orang tuanya terjebak di dalam genangan aspal yang meleleh karena panas. Atau saat anak-anak kecil terinjak-injak oleh orang-orang yang berebut jalan untuk menyelamatkan diri. Hal seperti ini tentunya tidak pernah dialami rakyat Inggris, Amerika dan sekutu-sekutunya. 
       Bencana kemanusiaan ini belum berhenti karena keesokan harinya giliran Amerika unjuk gigi. Sebanyak 400 pesawat pembom menumpahkan muatannya dan pesawat-pesawat tempur menembaki orang-orang di jalanan termasuk para tenaga medis yang tengah merawat pasien di sepanjang jalan tepi Sungai Elbe.
        Namun itu semua masih belum berakhir karena tiga serangan lanjutan telah direncanakan tentara sekutu: 15 Februari, 3 Maret, dan 17 April 1945 dengan total pesawat pengebom mencapai 1.172 unit. Korban tewas diperkirakan mencapai 400.000 jiwa, atau bahkan lebih. Dan karena Jerman tidak memiliki cukup orang untuk melakukan evakuasi, mayat-mayat hanya disemprot dengan disinfektan atau api kemudian dikubur bersama reruntuhan bangunan. 
         Sebagaimana ditulis oleh Jendral Patton, kamandan pasukan sekutu yang berhasil mengalahkan dan menduduki Jerman, dalam buku hariannya, pemerintahan sipil sekutu, terutama Amerika dan Inggris, secara sistematis berupaya melakukan pembersihan etnis terhadap warga kulit putih Jerman, semata-mata dengan motif balas dendam orang-orang yahudi kepada mereka. Antara 800.000 sampai 1,1 juta tawanan perang Jerman dibiarkan tinggal di kamp tawanan tanpa atap dan alas selama berbulan-bulan menahan kelaparan, kepanasan dan kedinginan. Warga sipil Jerman diusir dari rumah-rumah mereka untuk diisi oleh orang-orang yahudi yang didatangkan dari Uni Sovyet dan Eropa Timur. Sekitar 500.000 tawanan perang lainnya, sipil maupun militer, dikirim ke Siberia untuk menjalani kerja paksa. Bagi para wanita Jerman, masa-masa terakhir regim Nazi adalah neraka sesungguhnya. Mereka hanya mempunyai dua pilihan: diperkosa oleh tentara Uni Sovyet atau dibom oleh pesawat pembom Amerika dan Inggris.
        Diperkirakan sekitar 5 juta warga Jerman secara sistematis dibiarkan mati kelaparan selama 5 tahun setelah perang oleh tentara sekutu yang menduduki Jerman. 
       Dan karena yahudi mengontrol pemerintahan dan media massa barat, bahkan warga Jerman sendiri tidak banyak mengetahui tentang tragedi Dresden. Yahudi menginginkan hak eksklusif sebagai korban perang, hingga meski korban perang justru bukan orang yahudi, mereka terus saja mengkampanyekan "holocoust". Tujuannya tentu saja agar mereka bisa tetap terus "memeras" seluruh masyarakat di dunia. Hingga kini misalnya, negara-negara barat terus memberikan bantuan "kompensasi korban perang" kepada Israel. Pada dekade 90-an, ketika memori rakyat Eropa tentang "holocoust" meredup, orang-orang yahudi dibawah koodinasi World Jewish Association justru mengkampanyekan "holocoust" yang oleh pengkritiknya disebut sebagai "holocoust industry". Mereka memeras perbankan Jerman dan Swiss dengan dalih mendapatkan keuntungan ilegal dari dana-dana masyarakat yahudi yang hangus selama perang, hingga dalam sekali tepuk berhasil meraup miliaran dolar. Namun, seperti biasa, dana kompensasi itu sebagian besar justru masuk ke kantong pribadi tokoh-tokoh yahudi, bukan para korban perang sebenarnya. 
    "Holocoust industry" adalah upaya-upaya sistematis orang-orang yahudi untuk melanggengkan kenangan palsu "holocoust" sembari mendapatkan keuntungan melimpah darinya. "Holocoust industry" termasuk museum-museum holocoust di beberapa negara barat, pendidikan "holocoust", LSM-LSM, buku-buku, film-film dan sebagainya. Film-film Hollywood tentang Perang Dunia II hampir pasti juga bagian dari "holocoust industry".
       Ketika rakyat Ukraina ingin memperingati peristiwa "Holomador", lobi internasional yahudi menolaknya dengan keras. "Holomador" adalah "etnis cleansing" terhadap rakyat Ukraina oleh regim komunis Uni Sovyet yang didirikan dan dijalankan secara eksklusif oleh orang-orang yahudi. Ukraina yang sebenarnya adalah lumbung gandum, namun faktanya justru mengalami bencana kelaparan massal yang menewaskan sekitar 7 juta penduduknya karena hasil panen dirampas oleh regim komunis sebelum terjadinya Perang Dunia II. Mereka juga menentang peringatan pembantaian etnis Armenia oleh Kemal Attaturk, seorang yahudi "domne" Turki. 

       Tujuan lainnya adalah agar hak eksklusif korban perang hanya menjadi milik yahudi, dan untuk memberi alasan kepada mereka melakukan terorisme terhadap rakyat Palestina. Mereka berharap masyarakat dunia memaklumi pendudukan yahudi atas Palestina karena "yahudi membutuhkan negeri sendiri" setelah mengalami "holocoust". 



Sumber : www.cahyono-adi.blogspot.com 


Share: