Selasa, 23 Juni 2015

Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya



          Kebanyakan buku-buku yang berbicara tentang rokok atau tembakau, justru seringkali menganalisis persoalan dari sisi kesehatan atau ekonomi, meskipun faktanya jumlah kaum perokok di negeri kita hampir semakin tak terbendung. Telah banyak ahli kesehatan dan aktivis kesehatan mengambil polemik tembakau sebagai objek kajiannya. Oleh karenanya, akan sangat mudah bagi kita untuk menelusuri tulisan-tulisan yang berisi berbagai macam riset kesehatan yang membahas tentang bahaya rokok bagi kesehatan, meski dipahami bahwa tulisan-tulisan tersebut nyaris tidak mempengaruhi keinginan kaum perokok. Kalangan pembela tembakau sendiri juga telah menerbitkan beberapa buku yang mengaji persoalan ini dari aspek sosial dan ekonomi, namun masih jarang penulis yang mengangkat persoalan rokok atau tembakau dari aspek budaya. Oleh sebab itulah penerbitan buku dengan judul "Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya" (selanjutnya disebut KJ) ini merupakan sebuah usaha yang patut diapresiasi. 
      Sejak bergulirnya rencana regulasi tembakau oleh pemerintah, masyarakat tampaknya telah terdikotomi dalam dua kutub ekstrem dan berlawanan, yakni Pro dan Kontra. Seperti guyonan "petruk jadi Raja", para pembela regulasi tembakau kebanyakan adalah para aktivis kesehatan dan beberapa wartawan senior yang idealis. Sementara di sisi yang lain, penentangnya adalah para aktivis organisasi buruh dan petani, termasuk penerimaan Negara dari cukai dan pajak rokok. Perseteruan ini kemudian menjadi semakin sedap  saat kedua pihak saling serang dengan mengedepankan kajian-kajian serta riset-risetnya masing-masing. Masalahnya, sejak awal landasan keilmuan yang digunakan untuk membangun argumentasi di antara kedua pihak nyatanya memang sama sekali berbeda. Satu orang bicara tentang kesehatan dan yang satunya lagi bicara ekonomi atau penerimaan negara. Oleh karena itu sulit dicari titik temunya. Dalam latar belakang persoalan seperti inilah tampak bahwa penerbitan buku KJ memberikan sumbangan yang cukup berarti. 
        Mengambil sudut pandang sejarah budaya, KJ mencoba memberikan wacana alternatif terkait persoalan tembakau dan rokok yang ‘cair’. KJ tidak hendak ikut campur dengan riset-riset kesehatan atau kajian-kajian sosial-ekonomi secara dikotomi, tetapi menghadirkan pembacaan persoalan secara berbeda. Di beberapa bagian KJ membahas tentang aspek ekonomi komoditas tembakau dan rokok kretek, namun persoalan itu dihadirkan melalui sudut pandang sejarah dan budaya. Jadi bukan bahasan ekonomi yang murni, melainkan pembahasan dari sudut pandang masyarakat akar rumput. Di beberapa bagian juga terdapat pendapat-pendapat terkait dampak rokok bagi kesehatan. Tetapi sekali lagi KJ menghadirkannya tidak dengan kelakuan bahasa medis yang kaku. KJ justru melihatnya dari sudut pandang orang kebanyakan. Inilah yang di maksud dengan ‘cair’. KJ tidak hendak membangun diskursus-diskursus baru, tetapi yang lebih penting adalah mewarnai diskursus yang sudah ada dengan pendekatan yang berbeda. 
         Secara substansial KJ mengupas pesoalan-persoalan tembakau dan rokok kretek dari sisi sejarah budaya. KJ menuturkan kilasan-kilasan informasi tentang asal-usul budaya merokok, asal-usul rokok kretek, rintisan usaha industrialisasi rokok kretek, dan juga budaya-budaya yang berhubungan dengan tradisi kretek di Jawa. KJ menghadirkan topik-topik tersebut dalam tulisan-tulisan yang singkat, padat, dan diperkaya dengan hadirnya foto-foto ilustrasi. Secara garis besar KJ membagi bahasan-bahasannya dalam tiga tema besar. Di bagian pertama KJ pembaca dapat membaca tentang budaya masyarakat buruh yang sehari-harinya bekerja di pabrik rokok. Dilanjutkan dengan pembahasan tentang Kudus, kota kecil di utara Jawa Tengah yang menjadi bumi kelahiran tradisi kretek dan industrialisasi kretek. Juga bahasan tentang pertanian tembakau dan pengolahannya di beberapa daerah di Jawa. Lalu dilanjutkan dengan bahasan singkat tentang industri kretek yang berkembang di kota-kota di Lembah Brantas di Jawa Timur dan uniknya merek-merek rokok zaman dahulu. 
          Pada bagian kedua KJ dijelaskan tentang nilai kretek secara historis. Pada bagian ini pembaca dapat menemukan informasi-informasi terkait asal-usul tradisi merokok kretek dan sejarah awal perkembangan rokok kretek sebagai sebuah industri. Di bagian akhir pembaca dapat menemukan kategorisasi nama-nama merek rokok yang telah diinventarisasi oleh tim penyusun buku ini. Buku yang cukup informatif bagi kalangan masyarakat yang awam atau ingin mendalami tradisi kretek di Jawa. 
         Akan tetapi, KJ bukanlah buku induk bagi kalangan yang ingin memperdalam pengetahuan tentang tradis kretek di Jawa. Jika dibandingkan dengan buku bertema sama yang disusun oleh Mark Hanusz berjudul Kretek: the Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes, KJ masih sekadar mukadimah. Karena itulah bahasan-bahasan dalam KJ tidak disusun secara panjang lebar dan mendalam. Bisa dikatakan KJ lemah dalam hal kedalaman informasi dan lebih banyak bernarasi tentang budaya kretek di kehidupan keseharian daripada berusaha menghadirkan deskripsi ilmiah yang dalam. KJ lebih tepat digolongkan sebagai referensi awal untuk memulai penelusuran tentang budaya tembakau dan kretek di Jawa, bukan sebagai buku induk yang menjadi rujukan. 
(Fafa Firdausi) 
By Sejarawan Muda on 15 Oktober 2012 
Sumber : https://sejarawanmuda.wordpress.com/
Share:

0 comments:

Posting Komentar