Jumat, 19 Juni 2015

Berdebat tentang jejak Snouck Hurgronje

(Dari Judul Asli : “Snouck Hurgronje dan Kode Etik Penelitian Sosial” 
Oleh W.G.J. Remmelink).


        
 
    DALAM bulan Januari Kompas sudah beberapa kali memuat artikel dan tanggapan mengenai Dr Christiaan Snouck Hurgronje (Kompas 16, 18 dan 21 Januari). Semua itu berdasarkan sebuah wawancara Kompas dengan seorang sarjana Belanda Dr P.S. van Koningsveld (untuk selanjutnya VK) yang mengemukakan suatu interpretasi yang lain mengenai kehidupan dan kerja Dr Snouck Hurgronje alias Abdoel Ghaffar.
          Menurut Drs H. Ridwan Saidi pemuatan artikel semacam ini sangat berguna, karena “kita mesti tahu apa yang ada di Leiden atau Cornell.” Kalau begitu, kita juga mesti tahu bahwa pendapat dari VK, yang untuk pertama kalinya dikemukakan dalam sebuah ceramah pada tanggal 16 November 1979, telah mengakibatkan suatu polemik sengit sepanjang tahun 1980 dan 1981 dalam berbagai surat kabar dan majalah Belanda. Polemik tersebut dimuat secara lengkap dalam majalah De Gids tahun 1980/81, dan juga pernah disinggung oleh Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo di Kompas dalam salah satu “Surat dari Wassenaar.”.
       Menurut para penentangnya, VK bertolak dari suatu bayangan mengenai Snouck sebagai ilmuwan, orientalis, islamolog, sesuai dengan norma masa kini, dan “menemukan” Snouck yang “sebenarnya”, yaitu seorang agen intelijen, kolonialis, rasis, muslim semu, yang melanggar semua kode etik dengan pura-pura mengadakan penelitian ilmiah, pura-pura beralih agama, pura-pura kawin dengan putri pribumi, dan sebagainya dengan satu tujuan, yaitu membantu pemerintah penjajah mempererat belenggu kolonial.
       Melalui “tangan kotor” Snouck, VK menuduh orientalistik Belan­da telah menjadi ilmu bantu dari kolonialisme dan dengan demikian secara tidak langsung mernbenarkan ceritera kuno yang agak laku di dunia Islam, Bahwa orien­talistik Barat hanya kakitangan agama Kristen dan imperialisme kapitalis. Dahulu Husayn al-Harawi telah “membuka kedok” Snouck dan orientalistik Barat. Dan kita tidak perlu versi VK yang karena kekurangan argumen, akhirnya merasa perlu mengorbitkan kembali ceritera lama, bahwa di Mekkah Snouck telah mempunyai wanita simpanan (ceritera ini kemudian VK tarik kembali), atau melibatkan ayah Snouck yang pernah dikeluarkan dari Gereja karena berzina, tetapi kemudian diterima kembali setelah menikah secara sah dengan ibu Snouck. Demikian reaksi dari para penentang VK. 
       Sejak dialog antara Al-Afghani dan Renan sekitar 100 tahun yang lalu, belum ada kemajuan berarti. Dunia Islam merasa ditonton oleh dunia Barat dengan congkak dan dijadikan obyek penelitian. Maka dunia Islam menonton kembali. Yang menonton ditonton dan hasilnya suatu percekcokan yang semakin seru biasanya dengan tuduhan terakhir dari kedua belah pihak, bahwa masing-masing hanya mementingkan “money and sex.” Oleh karena Snouck Hur­gronje adalah tokoh yang pernah berdiri di tengah badai yang masih mengamuk ini, kita harus berkepala dingin jika kita membicarakan peranannya. 
       Peringatan Tengku HM Saleh bahwa penulisan mengenai Snouck tidak boleh merusak keharmonisan antar agama, perlu digarisbawahi. Baik VK maupun penentangnya setuju bahwa Snouck adalah seorang ilmuwan yang sekaligus insan politik. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai bagaimana harus menilai perilaku Snouck sebagai ilmuwan dari insan politik. VK merasa bahwa Snouck telah melampaui batas, baik sebagai ilmuwan maupun sebagai insan politik, dan mencoba mernbuktikan bahwa Snouck secara sadar menutup semua itu. Sedangkan para penentang VK mempertahankan bahwa Snouck tetap di dalam batas norrna etik, apalagi jika diukur menurut norma zaman itu. Dan menurut mereka, Snouck sama sekali tidak menyembunyikan sesuatu. 
        Kedok Snouck yang dilihat VK adalah buatan VK sendiri. Misalnya VK berusaha mernbuktikan bahwa tugas intelijen Snouck di Aceh sudah direncanakan jauh sebelumnya dan perjalanannya ke Mekkah semata-mata untuk mempelajari rahasia Islam pada umumnya dan perlawanan Aceh pada khususnya. Hal ini dibantah oleh penentang VK dengan menunjukkan bahwa baik perjalanan Snouck ke Mekkah maupun ke Aceh, sebagian besar atas inisiatif Snouck sendiri. Hanya karena Snouck sendiri begitu “ngeyel,” akhirnya dia dibantu dan diberikan subsidi dari pemerintah.
         Baru enam tahun kemudian, setelah “pengkhianatan Teuku Umar” dan setelah di Aceh diangkat seorang jenderal yang kurang lebih sependapat dengan Snouck, yaitu Van Heutsz, saran dari Snouck mulai diterima dan diterapkan di Aceh. Tuduhan dan bantahan yang silih berganti antara VK dan penentangnya tidak perlu dipaparkan secara mendetail di sini.
Snouck sebagai ilmuan
    Bersama dengan Goldziher, Snouck dianggap sebagai pelopor Islamologi modern. Sejak abad pertengahan di Eropa, bahasa dan kebudayaan Arab telah dipelajari, tetapi fokus perhatian adalah pada naskah, khususnya naskah filsafat, sejarah, geografi, dan lain-lain. Hukum Islam sama sekali tidak dipelajari karena dianggap kering, tidak menarik. Namun Snouck berpendapat lain. Pengertian ilmiah mengenai Islam hanya dapat diperoleh dengan cara mempelajari Hukum Islam dan bagaimana Hukum Islam tersebut dipraktekkan oleh umat Islam. Agama dan kehidupan umatnya tidak dapat dipisahkan.
        Pokok penelitian Snouck sebenarnya ada tiga: 1) Bagaimana sistem Islam terbentuk; 2) Apa arti Islam dalam praktek kehidupan umatnya; 3) Bagaimana golongan Islam di daerah jajahan harus diperintah untuk membawa mereka ke zaman modern dan kalau mungkin menjadikan mereka patner dalam pembentukan kebudayaan dunia yang universal.
       Pertanyaan pertama sebagian dijawab oleh Snouck dalam disertasinya, dan kemudian dibahas lagi dalam bagian pertama bukunya mengenai Mekkah. Untuk dapat menjawab pertanyaan kedua, Snouck harus ke Mekkah. tidak cukup hanya mempelajari naskah, praktek, kehidupan orang Islam harus langsung dipelajari. Ceritera perjalanan Snouck ke Tanah Suci sudah dikenal umum dan tidak perlu diulangi lagi. 
        Yang dipermasalahkan adalah peralihan agama Snouck. Snouck secara formal masuk agama Islam, karena pada zaman itu tidak ada jalan lain untuk nempelajari praktek kehidupan umat Islam, selain masuk Islam, apakah itu terjadi di depan Kadi Jeddah dengan dua saksi dari wali jelas seperti diutarakan VK, tetapi dibantah oleh penentangnya yang memberi interpretasi lain kepada kunjungan kadi tersebut dan memperkirakan bahwa setelah dilatih sedikit oleh Abu Bakr. Snouck ikut ke mesjid dan masuk Islam dengan mengucapkan syahadat di depan khalayak ramai, sebenarnya tidak penting Snouck telah dianggap Islam dan ialah ke Mekkah terbuka.
           Meskipun hal ini mungkin sangat menyakitkan hati pihak yang diteliti. Perilaku ini sering terjadi dalam penelitian sosial karena demi kepentingan ilmu, hal ini dibenarkan. Pengetahuan Snouck mengenai Hukum Islam pada waktu itu sudah sangat dalarn, dan para ulama di Mekkah mungkin lebih tertarik berdebat mengenai Hukum 
         Dalam hubungan ini kepercayaan yang dianut Snouck sendiri sebenarnya tidak relevan, meskipun menimbulkan banyak spekulasi. Mungkin pada saat itu kepercayaan Snouck sendiri adalah paham “yang meredusir agama Kristen pada paham keesaan Tuhan dan cinta sesama manusia. Dengan demikian secara dogmatis Snouck lebih dekat Islam ‘ dari­pada Kristen, tetap ini hanya spekulasi belaka. 
         Justru karena pengamatan dan penelitian menurut metode partisipasi inilah Snuock sangat dikagumi meskipun VK ingin memperkecil sumbangan Snouck karena dia menggunakan suatu jaringan informan. Tetapi menggunakan suatu jaringan informan adalah prosedur standar dalam penelitian sosial, bantah para penentang VK. Snouck sendiri tak pernah menyangkal bahwa dia (Bersambung ke hal V kol 1 – 4).



Sumber: Kompas, 2 Februari 1983 hlm IV ).
Dikutip dari : https://tambeh.wordpress.com/2014/02/, diakses 19 Juni 2015, 23:31










Share:

0 comments:

Posting Komentar